Jakarta – Aktivis demokrasi, Yaser Hatim soroti manuver Ketua MPR, Bambang Soesatyo yang mencabut TAP MPRS 33/1967 di akhir masa jabatannya. “Tentunya ada maksud dan tujuan dibalik pencabutan TAP MPR 33/1967 di akhir periode jabatan ketua MPR Bambang Soesatyo,” kata Yaser kepada wartawan, di Jakarta, (12/09/24).
TAP MPRS tersebut berkaitan dengan pemulihan nama baik Presiden Soekarno dari tuduhan keterlibatan dalam gerakan PKI 1965.
Hal ini disambut baik oleh keluarga Soekarno terutama Megawati Soekarno Putri yang langsung menyambangi Gedung MPR RI untuk menerima surat pencabutan TAP MPR tersebut.
Yaser menjelaskan bahwa passca Reformasi tahun 1998, MPR menerbitkan produk hukumnya untuk mengisi kekosongan hukum dan penataan ketatanegaraan di masa transisi dari Orde Baru ke Reformasi.
“Beberapa TAP MPR yang krusial seperti Referendum Timor Timor, Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN dan Pemisahan antara TNI dan Polri menjadi penting pada saat itu,” jelasnya.
Pencabutan TAP MPR/S mulai dilakukan ketika transisi kepemimpinan dari rezim Orde baru yang otoriter ke rezim demokratis. TAP MPR S 33/1967 menjadi terbengkalai dan luput dari perhatian kerja – kerja MPR RI sehingga secara senyap dan mengejutkan pencabutan TAP MPRS 33/1967 baru dilakukan sekarang diakhir periode jabatan Ketua MPR.
Yaser menilai pencabutan TAP MPRS oleh Bamsoet memiliki motif politik yang kuat untuk kepentingan dirinya pribadi. Langkah politik Ketua MPR dipandang sebagai daya tawar kepada keluarga soekarno terutama Megawati sebagai ketua Umum PDI Perjuangan untuk memuluskan posisi bamsoet menjadi ketua MPR lagi dan juga Ketua Umum Partai Golkar selanjutnya yang ditenggarai akan melakukan Munas Ulang di Desember 2024.
“Sebagaimana yang publik ketahui, Ketua MPR Bambang Soesatyo sering mewacanakan Amandemen Konstitusi menjelang pilpres dan akhir masa jabatan Presiden Jokowi dengan dugaan untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan kepentingan penguasa,” tuturnya.
Yaser juga memaparkan masih terdapat beberapa persoalan yang menjadi pekerjaan rumah MPR mengenai produk – produk hukumnya yang sudah tidak relevan, bahkan bertentangan dengan HAM dan perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman.
“Seperti TAP MPR RI No. VII tahun 2000 tentang peran TNI dan Polri yang mana terdapat pasal dalamnya mengenai hak politik (Memilih dan Dipilih) anggota TNI dan POLRI yang ditangguhkan sampai tahun 2009, isi dari pasal 5 ayat (4) TAP MPR VII tahun 2000 yang berbunyi Anggota Tentara Nasional Indonesia tidak menggunakan Hak memilih dan dipilih,” paparnya.
Keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melaui MPR paling lama sampai tahun 2009, dan pasal 10 ayat (4) TAP MPR VII tahun 2000 yang berbunyi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan Hak memilih dan dipilih.
keikutsertaan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melaui MPR paling lama sampai tahun 2009.
“Hal ini tentunya bertentangan dengan hak asasi manusia sebagai warga negara dan kematangan demokrasi di Indonesia. Sehingga hal – hal tersebut perlu dituntaskan dan diselesaikan MPR dimana isi dari produk hukumnya sudah kadaluarsa,” tutupnya.